Cerita Raja Bimbisara dalam Agama Buddha

Di sebelah Tenggara Jambudipa ada suatu negeri besar serta mempengaruhi, ialah negeri Magadha yang berpenduduk padat serta kaya raya serta di sebelah Timurnya terletak negeri Anga. Raja Bimbisara merupakan Maha raja negeri Magadha serta Anga tersebut dengan ibukota Rajagaha.

Sehabis sebagian lama diam di Gayasisa, Si Buddha melanjutkan perjalanannya mengarah Rajagaha serta menyudahi di hutan kecil Latthivana.

Dalam waktu pendek tersiar kabar kalau Pertapa Gotama, putra Sakya, saat ini terletak di Rajagaha serta berdiam di hutan kecil Latthivana. Dia merupakan seseorang Arahat, seseorang yang sudah mendapatkan Penerangan Agung, serta mengajar Dhamma yang mulia di awal mulanya, mulia di pertengahannya, serta mulia di kesimpulannya, yang sudah mengumumkan kehidupan suci yang betul- betul bersih serta sempurna dalam ungkapan serta dalam hakekatnya. Memandang seseorang Arahat yang demikian itu berguna sekali supaya kemauan orang bisa terkabul.

Mendengar kabar itu, Raja Bimbisara tiba mendatangi Si Buddha dengan diiringi pengiringnya. Sehabis berikan hormat, Raja setelah itu duduk di satu sisi. Namun para pengiringnya berlagak macam- macam serta terdapat yang berlagak acuh tidak acuh. Terdapat yang berlutut, terdapat yang cuma berikan hormat dengan perkataan, terdapat yang menyembah, terdapat yang memberitahukan namanya serta pula nama keluarganya, serta terdapat yang duduk diam saja.

Si Buddha, yang memandang perilaku acuh tidak acuh serta kurang hormat dari pengiring Raja, ketahui kalau mereka masih belum siap buat menerima ajaran. Sebab itu Si Buddha memandang butuh supaya Uruvela Kassapa terlebih dahulu membagikan penjelasan tentang sia- sianya pemujaan yang dahulu dia jalani. Perihal ini butuh buat menghilangkan keragu- raguan saat sebelum mereka siap buat mencermati Dhamma. Sebab itu Si Buddha mengatakan kepada Uruvela Kassapa,“ Oh, Kassapa, kalian telah lama berdiam di Uruvela serta jadi pemimpin kalangan Jatila yang pandai dalam upacara keagamaan. Apakah sebabnya sehingga kalian menyudahi melaksanakan pemujaan api yang biasa kalian jalani? Saya bertanya padamu, oh Kassapa, kenapa kalian meninggalkan Kerutinan memuja api?”

Uruvela Kassapa menanggapi,“ Seluruh Yañña ataupun upacara dengan mempersembahkan sesajen bertujuan buat mendapatkan penglihatan, suara, rasa serta perempuan yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu memunculkan harapan kalau sehabis melaksanakan persembahan tersebut orang hendak bisa mendapatkan hasil yang di idamkan. Sudah kuketahui saat ini kalau kesenangan- kesenangan indria tersebut ialah kekotoran batin yang membuat orang dicengkeram oleh nafsu- nafsu. Sebab itu saya tidak lagi tertarik melaksanakan praktek pemujaan api.”

Setelah itu Si Buddha bertanya lagi,“ Sehabis saat ini kalian tidak lagi tertarik kepada penglihatan, suara serta rasa yang jadi obyek untuk kesenangan indria, oh Kassapa, apa sesungguhnya yang kalian cari di alam manusia serta alam dewa ini? Coba kalian ceritakan.”

Kassapa menanggapi,“ Saya sudah sukses menggapai kondisi yang penuh damai, tanpa dikotori oleh nafsu- nafsu yang bisa memunculkan penderitaan, tanpa kemauan buat menempel, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indria, tanpa pergantian, tanpa bergantung pada kekuatan luar serta cuma bisa dimengerti oleh individu tiap- tiap. Sebab hal- hal yang di atas seperti itu saya tidak lagi tertarik buat melaksanakan praktek pemujaan api yang dahulu kulakukan.”

Berakhir berikan jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya( selaku perilaku menghormat) dia berlutut 3 kali di dasar kaki Si Buddha serta mengaku kalau Si Buddha merupakan gurunya serta dia merupakan murid- Nya.

Sehabis keragu- raguan para hadirin bisa disingkirkan serta batin mereka telah siap buat menerima pelajaran, mulailah Si Buddha membagikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan 4 Kesunyataan Mulia.

Berakhir Si Buddha membagikan khotbah, sebelas dari 2 belas orang yang muncul mendapatkan Mata Dhamma serta yang lain mendapatkan kepercayaan yang tidak tergoyahkan terhadap Si Buddha, Dhamma, serta Sangha.

Setelah itu Raja menggambarkan tentang keinginannya sejak kecil.

“ Dahulu, sewaktu masih jadi Putra Mahkota serta belum naik tahta kerajaan, saya memiliki 5 berbagai kemauan, ialah awal, mudah- mudahan saya nanti naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, mudah- mudahan seseorang Arahat yang mendapatkan Penerangan Agung tiba di negeriku sewaktu saya masih memerintah. Ketiga, mudah- mudahan saya mendapatkan peluang buat mendatangi Arahat tersebut. Keempat, mudah- mudahan Arahat tersebut membagikan khotbah kepadaku. Kelima, mudah- mudahan saya paham apa yang wajib dipahami dari ajaran Arahat tersebut. Saat ini seluruh keinginanku yang berjumlah 5 itu sudah terpenuhi.”.

Berikutnya Raja Bimbisara menyanjung khotbah Si Buddha serta melaporkan dirinya selaku upasaka buat seumur hidup serta mengundang Si Buddha beserta para pengikut- Nya buat tiba esok siang mengambil dana( santapan) di istana. Setelah itu bangun dari tempat duduknya, jalur memutar dengan Si Buddha senantiasa di sebelah kanan serta kembali ke istana. Datang di istana, Raja memerintahkan buat mempersiapkan hidangan yang lezat- lezat. Keesokan hari, Raja memerintahkan pengawalnya buat mengundang Si Buddha dengan pengiring- Nya tiba ke istana. Sehabis Si Buddha datang di istana serta mengambil tempat duduk yang disediakan, Raja sendiri ikut melayani membagikan hidangan. Setelah itu Raja memikirkan tempat yang layak yang bisa digunakan oleh Si Buddha selaku tempat tinggal. Raja teringat kepada Veluvanarama( hutan tumbuhan bambu) yang posisinya tidak sangat jauh serta tidak sangat dekat dengan desa di sekelilingnya. Tempat itu gampang buat dicapai serta mengasyikkan, tidak berisik waktu siang hari serta tenang di malam hari, sesuai sekali buat dipakai selaku tempat menyepi oleh mereka yang mau berlatih buat memperoleh Pemikiran Cerah.

Dengan batin yang dipadati benak tersebut, Raja Bimbisara setelah itu menuang air ke lantai dari kendi emas serta menerangkan kalau Dia berkeinginan menyerahkan Veluvanarama buat dipakai oleh Si Buddha beserta pengiring- Nya, selaku tempat tinggal. Si Buddha menerima pemberian tersebut serta menggembirakan hati Raja dengan menerangkan tentang keuntungan besar yang bisa diperoleh dari dana tersebut.

Si Buddha beserta pengiring- Nya kembali serta pindah ke tempat yang baru. Ini ialah sumbangan tempat tinggal buat pata bhikkhu yang awal, mulai hari itu Si Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian seragam itu.

PEMUTARAN RODA DHAMMA

Sehabis datang di Benares, kelima orang pertapa memandang Si Buddha lagi merambah Halaman Rusa. Seseorang dari 5 pertapa itu berkata,“ Kawan- kawan, amati, Pertapa Gotama lagi merambah halaman, dia merupakan orang yang bahagia dengan kenikmatan dunia. Dia tergelincir dari kehidupan suci serta kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan serta kenikmatan. Hendaknya kita tidak harus menyapanya. Lagipula kita jangan berikan hormat kepadanya. Kita hendaknya pula jangan menawarkan diri buat menyongsong mangkuk serta jubahnya. Kita cuma sediakan tikar buat tempat duduknya. Dia boleh memakainya jika ingin serta jika tidak ingin, dia boleh berdiri saja. Siapakah yang ingin mengurus seseorang pertapa yang sudah kandas?”

Waktu Si Buddha tiba lebih dekat, mereka memandang kalau terdapat suatu yang berganti serta Si Buddha tidak sama dengan Pertapa Gotama yang dahulu mereka tahu. Dia saat ini kelihatannya lebih mulia serta agung, yang belum sempat mereka amati tadinya. Walaupun mereka semula telah setuju buat tidak menghormat kepada Si Buddha, tetapi sewaktu Si Buddha mendekat, mereka seolah- olah kurang ingat kepada apa yang mereka sepakati.

Seseorang diantara mereka maju ke depan serta dengan hormat menyongsong mangkuk serta jubah- Nya, sebaliknya yang lain padat jadwal mempersiapkan tempat duduk serta yang lain lagi bergegas mengambil air buat membilas kaki Si Buddha.

Sehabis mengambil tempat duduk, Si Buddha kemudian mengatakan“ Dengarlah, oh Pertapa. Saya sudah menciptakan jalur yang mengarah ke kondisi terbebas dari kematian. Hendak kuberitahukan kepadamu. Hendak kuajarkan. kepadamu. Jika engkau mau mendengar, belajar, serta melatih diri semacam yang hendak kuajarkan dalam waktu pendek engkau juga bisa paham, bukan nanti nanti setelah itu hari, namun saat ini pula dalam kehidupan ini kalau apa yang kukatakan itu merupakan benar. Engkau bisa menyelami sendiri kondisi itu yang terletak di atas hidup serta mati.”

Pasti saja kelima pertapa merasa heran sekali mendengar perkataan Si Buddha. Karena mereka memandang sendiri Dia menyudahi berpuasa, mereka memandang sendiri Dia menghentikan seluruh usaha buat menciptakan Penerangan Agung serta saat ini Dia tiba kepada mereka buat memberitahukan kalau Dia sudah menciptakan Penerangan Agung itu. Sebab itu mereka tidak yakin hendak apa yang Si Buddha katakan. Mereka menanggapi,

“ Teman( avuso) Gotama, sewaktu kami masih berdiam bersama- sama Kamu, Kamu sudah berlatih serta menyiksa diri Kamu semacam yang belum sempat dicoba oleh siapa juga pula di segala Jambudipa. Sebab seperti itu kami menyangka Kamu selaku pemimpin serta guru kami. Namun dengan seluruh metode penyiksaan diri itu nyatanya Kamu tidak sukses menciptakan apa yang Kamu cari, ialah Penerangan Agung. Sehabis saat ini Kamu kembali kehidupan yang penuh kesenangan serta kenikmatan serta menyudahi berupaya serta melatih diri, mana bisa jadi Kamu saat ini sudah menciptakannya?”

“ Kalian galat, Pertapa. Saya tidak sempat menyudahi berupaya. Saya tidak kembali ke kehidupan yang penuh kesenangan serta kenikmatan. Dengarlah apa yang kukatakan. Saya sebetulnya sudah mendapatkan Kebijaksanaan yang Paling tinggi. Serta bisa mengajar kalian buat pula mendapatkan Kebijaksanaan tersebut buat dirimu sendiri.”

Sehabis itu kelima pertapa bersedia mencermati khotbah- Nya. Hingga Si Buddha membagikan khotbah- Nya yang awal yang nanti diketahui selaku Dhammacakkappavattana Sutta( Khotbah Pemutaran Roda Dhamma). Khotbah awal diucapkan oleh Si Buddha pas pada dikala purnama sidhi di bulan asalha.